Pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia pada
Sekolah Menengah
Oleh: Drs. A. Butin
1. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Proses pembelajaran Bahasa Indonesia (dan Sastranya) memang tidak harus dilaksanakan ibarat dengan kacamata kuda, artinya dilaksanakan tanpa melihat kiri-kanan atau hanya melihat satu disiplin ilmu tanpa mengaitkannya dengan kehidupan dalam arti luas. Justru dalam pelaksanaannya para guru seharusnya berusaha mengaitkan mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya dengan mata pelajaran atau bahan dasar lain yang kontekstual. Antara lain untuk menumbuh-kembangkan dalam kehidupan masyarakat. Tanpa mengaitkan mata pelajaran dengan konteks kehidupan yang nyata dalam masyarakat, maka proses pembelajarannya akan menjadi hambar dan kurang bermakna bagi bekal kehidupan anak dalam masyarakat (Jurnal Model Pembelajaran Terpadu. www.dikdasmen.depdiknas.go.id . 2003 ).
Selain itu jika kita perhatikan amanat Standar Isi Kurikulum 2006 telah jelas, bahwa tujuan pokok pembelajaran sastra di sekolah menengah itu adalah pencapaian kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi menggingat jangka pendek tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang (Depdiknas, 2007. “Pembelajaran Kontekstual”.
Sumber-sumber dan informasi yang mana bisa membantu saya?apakah saya mengandalkan satu sumber saja (contoh, buku)? apakah saya perlu mencari sumber-sumber yang lain? sewaktu saya belajar, apakah saya tanya diri sendiri jika saya mengerti? sebaiknya saya mempercepat atau memperlambat? jika saya tidak mengerti, apakah saya tanya kenapa? Apakah saya berhenti dan meringkas? apakah saya perlu berdiskusi dengan para siswa lain untuk proses informasi lebih lanjut? dan sebagainya. Tidak ada yang susah dalam pembelajaran sastra di sekolah. Yang susah adalah karena sebagai guru kita tidak membuatnya menjadi mudah. Berbagai keluhan sementara guru-guru bahasa dan (khususnya) sastra Indonesia adalah betapa susahnya dalam membelajarkan sastra kepada siswa. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah susah itu karena kemauan guru untuk membelajarkan sastra sangat kurang atau karena kemampuan guru itu sendiri yang sangat minim.? (Asmin, 2007. ”Guru Sebagai Model Pembelajaran”. www.wordpress.com ).
Pembelajaran bahasa Indonesia yang diupayakan guru mata pelajaran bahasa Indonesia belum menunjukkan sebagai suatu proses pembentukan pola hidup siswa. Proses pembelajarannya masih sebatas sebagai proses transfer of knowledge, bersifat verbalistik dan cenderung bertumpu pada kepentingan guru dari pada kebutuhan siswa.
Persoalan di atas sangat sulit dipecahkan dengan segera, membiarkan persoalan tersebut berlarut-larut tanpa ada penyelesaikan merupakan tindakan tidak bijaksana. Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan tersebut, salah satu cara bisa dilakukan adalah mengkaji secara mendalam persoalan tersebut, sehingga di sekolah menengah atas pada umumnya diharapkan ada pembaharuan pembelajaran dengan model yang inovatif. Bertolak dari pemikiran di atas, alternatif pengembangan yang dapat dilakukan oleh para guru dengan penerapan model pembelajaran berbasis mencari informasi. Model pembelajaran berbasis mencari informasi diyakini dapat memberi peluang para siswa untuk terlibat dalam diskusi, berpikir kritis, berani dan mau mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri (Zaini,dkk;2005:51).
Hakikatnya model pembelajaran berbasis mencari informasi di samping memperoleh pengalaman fisik terhadap objek dalam pembelajaran, siswa juga memperoleh pengalaman secara mental. Meskipun model pembelajaran berbasis mencari informasi mengutamakan peran aktif siswa, bukan berarti guru tidak berpartisipasi, sebab dalam proses pembelajaran guru berperan sebagai perancang, fasilitator, dan pembimbing proses pembelajaran.
Bagaimana Pembelajaran dengan Model Berbasis Mencari Informasi itu?
Model pembelajaran berbasis mencari informasi yang dimaksud adalah Tahapan pembelajarannya seperti disampaikan berikut ini.
a. langkah 1,
input substantif, yaitu guru memperkenalkan prosedur informasi sebagai metode pembelajaran. Pada langkah ini guru mengajukan berbagai tantangan yang merangsang. Setiap kelas harus memecahkan problem dengan cara menyimpulkan informasi yang tersedia. Di sini guru sekaligus mengarahkan kelas untuk pembuatan kelompok dan mencari informasi dari buku, majalah, maupun internet.
b. langkah 2,
analogi langsung, yaitu guru mengajukan pengandaian perencanaan tentang bagaimana menyelesaikan permasalahan. Siswa secara individu atau kelompok diminta mendeskripsikan bagaimana melakukan kemungkinan pemecahan masalah (investigasi problem).
c. langkah 3,
analogi personal, yaitu guru memberikan tugas kepada setiap siswa untuk membuat pengandaian diri beserta alasan-alasannya, penyelesaian problem yang sedang dibahas.
d. langkah 4,
membandingkan analogi, yaitu pada tahap ini siswa diminta mengidentifikasi dan menjelaskan butir-butir yang sama antara penyelesaian problem hasil kerja kelompok dengan individu dalam membahas hasil pekerjaan siswa digunakan pendekatan curah pendapat (brainstorming)
e. langkah 5,
penyelesaian problem, yaitu dalam penyelesaian problem. Guru mengarahkan anggota kelompok pada penyelesaian tugas yang besifat individu, kemudian disentesiskan sehingga akhir tugas akan terbentuk hasil kesimpulan investigasi yang siap disajikan di depan kelas (presentasi)
f. langkah 6 :eksplorasi,
yaitu guru memberikan waktu secara bergantian untuk siap kelompok memaparkan hasil investigasi problem di depan kelas. Tugas kelompok lain ketika satu kelompok presentasi adalah melakukan evaluasi sajian kelompok. Siswa diminta menjelajah terhadap materi yang baru dibahas dengan menggunakan bahasanya sendiri, komentar maupun kritik tertulis dijadikan masukan balik.
g. langkah 7 :
memunculkan balik, yaitu Pemunculan objek dari investigasi problem yang dibahas , dilakukan evaluasi dalam bentuk diskusi atau curah pendapat. Diskusi evaluasi dimulai mendiskusikan kekurangan dalam internal kelompok, kemudian berlanjut pada diskusi evaluasi seluruh kelas. Model pembelajaran berbasis mencari informasi yang dikembangkan ini berupa pencarian informasi balik dari buku teks, majalah maupun internet.
2. Apresiasi Sastra Indonesia
Esensi pelajaran sastra Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan sastra Indonesia..
- sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan
nasional;
- Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan;
- Memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan Menghargai dan
mengembangkan,sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intlektual manusia
Indonesia. [Standar Isi KTSP 2006: latar belakang (ii)].
Karya sastra ditinjau dari ragamnya, ada karya sastra fiksi dan non-fiksi. Karya sastra fiksi misalnya puisi, hikayat, fabel, mite, cerita pendek, novel, dan sebagainya. Adapun karya sastra nonfiksi misalnya esai, biografi, autobiografi, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pengajaran sastra di SMU, ditegaskan dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) dan Kurikulum SMA 2004 dan Standar Isi 2006 terdapat pokok bahasan pengantar teori kesusastraan, apresiasi sastra, dan mengarang cerita rekaan. Khusus dalam hubungannya dengan apresiasi sastra merupakan suatu kajian karya sastra yang berupa tanggapan atau penilaian dan penghargaan pada karya sastra. Apresiasi mengandung arti tanggapan atau pemahaman yang sensitif terhadap sesuatu. Dengan demikian, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai upaya untuk mempelajari, memahami, menanggapi, menghayati, dan menilai suatu karya sastra secara kognitif. Sensitif di sini mengacu pada aspek afektif (sikap), yaitu kemampuan kepekaan seseorang dalam menanggapi dan mengapresiasi suatu karya sastra,terutama mengenai unsur-unsurnya. Mengajarkan sebuah karya sastra tidak sama dengan mengajarkan mata pelajaran yang lain pada umumnya, misalnya Biologi, Fisika, Matematika, dan sebagainya, yang sering hanya memindahkan suatu ilmu kepada siswa.
Dalam pengajaran karya sastra, seseorang guru sastra harus memiliki pengetahuan yang luas di bidang sastra dan yang paling penting suka mengapresiasi karya sastra, sehingga dalam mengajar tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan sebatas yang ada dalam buku pegangan, namun juga dapat mendorong dan mengaktifkan siswa untuk berkreasi serta membantu siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi melalui media karya sastra. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa yaitu pandangan, ide-ide, perasaan, pemikiran, dan semua kegiatan mental manusia. Selanjutnya -- dalam hubungan ini-- sastra sebagai bahasa stilistika dalam esensinya berisi ajaran humaniora; implikasi kegagalan pada penguasaan bidang kesastraan oleh siswa berpengaruh terhadap sikap, sopan santun, dan keperibadian para siswa sekarang ini. Di mana-mana disinyalir terjadi kebrutalan para remaja kita sebagai akibat minimnya penanaman nilai-nilai kehidupan melalui karya sastra bagi anak didik kita.
Ada batasan lain yang menyatakan bahwa sastra adalah inspirasi kehidupan yang diwujudkan dalam bentuk keindahan.
Mengapa dalam kenyataannya sekarang ini guru dan siswa kurang termotivasi untuk menghasilkan cipta sastra, atau dalam tulis-menulis/karang –mengarang kreativitas di bidang sastra terasa kurang populer? Apakah para siswa dan guru-guru kita mengidap penyakit kronis, seperti yang diterangkan oleh Taufiq Ismail di dalam bukunya” (Agar Anak Bangsa Tak Rabun Membaca dan Tak Lumpuh Menulis,2003)” benar terjadi? Yakni: memang siswa dan guru kita telah “rabun membaca” dan “Telah Lumpuh menulis”? Apakah harapan para pakar sastra yang tertuang di dalam amanat silabus kurikulum dengan standar isinya, yang mengisyaratkan para siswa selama tiga tahun di SMA telah membaca paling tidak 15 judul buku sastra sudah kita penuhi untuk siswa? Dan apakah kita dan siswa sudah mulai menulis tentang sastra?
Jika para guru memberikan beberapa senarai buku sastra yang wajib dibaca siswa, tentu idealnya terlebih dahulu guru tidak hanya meminta siswanya untuk membaca, akan tetapi guru sendiri harus telah membaca buku-buku sastra itu dan menyukai sastra. Namun keadaan tidak demikian gurunya sendiri tak suka dengan buku-buku tentang sastra, dan referensi buku-buku sastra yang telah dibaca dan dimiliki dapat dihitung dengan jari. Tambahan pula buku-buku sastra terbaru belum atau tak pernah dimiliki. Mereka (para guru sastra) hanya paham dengan karya sastra dan buku sastra ketika mereka sekolah atau kuliah puluhan tahun yang lalu. Mereka hanya membaca buku-buku sastra angkatan 20-an, 30-an, 66-an saja. Itupun tidak semua buku prosa zaman itu yang mereka pahami.
Menurut Suminto A. Sayuti (2000) dalam (Sudaryanto,S.Pd: Majalah Horison, Edisi: 166, 2010:halaman 17) dikatakan, bahwa: Hal itu berakibat pada situasi pengajaran sastra, Pengajaran sastra kita di sekolah sesungguhnya tak memerdekakan siswa. Siswa menjadi kaku, tidak kreatif, tidak apresiatif, dan bahkan menjadi robot. Para siswa hanya disuruh mengenal nama pengarang, judul karya, angkatan tahun berapa, dan sebagainya.Padahal siswa-siswa kita tidak tertarik pada buku-buku sastra seperti itu, dan mereka mungkin lebih menyukai karya-karya sastra prosa penulis muda, seperti karya Dian Sastro Wardoyo, atau karya Andrea Hirata, atau mereka banyak membaca karya-karya terbaru, seperti buku yang berjudul : Mereka Bilang, Saya Monyet! Yang dikarang oleh Djenar Maesa Ayu, pada sekitar tahun 2002 hingga sekarang.
Dengan demikian pola pengajaran sastra kita selama ini harus diubah. Pengajaran yang mencekoki siswa dengan teori kesastraan perlu berangsur-angsur ditinggalkan. Paradigma baru adalah dengan strategi pembelajaran yang Aktif, Kreatif, Inovatif, dan menyenangkan yang berorientasi pada kegiatan siswa untuk menemukan sendiri (discovery), memecahkan masalah sendiri (problem solving), Mensitesiskan sendiri. Sedangkan guru banyak berperan sebagai motivator dan fasilitator.
Karena pengajaran sastra yang bermakna itu, bukan semata-mata mengajarkan teori sastra belaka. Ini lebih ditekankan pada kemampuan siswa untuk mengapresiatif. Sedangkan pengertian hakikat apresiatif itu adalah usaha peminat sastra untuk mengenal, mendekati, menggauli suatu cipta sastra, sehingga timbul pemahaman dan rasa cinta dan menghargai suatu hasil cipta sastra. Di sini jelas bahwa usaha kita para guru sastra adalah:
(1) Bagaimana supaya siswa itu dapat menggauli dalam arti membaca suatu hasil karya sastra. Dengan pemberian tugas kepada siswa untuk membaca buku-sastra—baik roman, novel, cerpen, atau drama esai, dll.-- maka nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra (baik prosa maupun puisi) itu akan dapat dipahami oleh siswa yang sekaligus karya sastra yang dibacanya berfungsi sebagai didaktis yang ajaran-ajaran nilai-niai norma yang terkandung di dalamnya akan dapat dijadikan sebagai pelajaran moral. Dengan kata lain ajaran-ajaran sastra yang dibaca akan mampu membangun sikap dan kepribadian siswa untuk dapat diimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Karena setiap karya sastra tentu sarat dengan ajaran-ajaran (dedaktis, relegius, historis, etika, estetika, filosofis, dll). Ini sangat berguna bagi siswa pada masa-masa yang akan datang.
Agar diketahui lebih mendalam terhadap karya sastra prosa yang dibacanya, kita bisa memberikan tugas kepada mereka dalam bentuk resensi atau sinopsis karya yang mereka baca.Untuk siswa yang tidak berminat akan karya sastra biasanya mereka akan mengerjakan tugas secara asal-asalan, bahkan mereka akan menyalin karya sastra resensi dan sinopsis yang telah ada, atau secara instan secara gampang mereka mengundu materi melalui jasa internet. Sebagai seorang guru professional, keadaan seperti ini tidak dapat ditolerir.
(2) Bagaimana agar para siswa dapat mengapresiasi drama. Kita tidak memberikan catatan tentang pengarang drama, judul, tahun drama itu ditulis dan angkatan berapa sastrawan yang menulis drama itu. Kegiatan belajar semacam itu hanya akan membuang-buang waktu saja. Akan tetapi seyogiyanyalah penyajian materi diupayakan bagaimana siswa memaknai secara langsung nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah drama. Siswa menjadi pemeran langsung dari tokoh drama yang disajikan, sehingga siswa akan dapat menghayati ajaran nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam sebuah drama yang diperankannya. Dan mengerti nilai-nilai kemanusiaan (human interest) yang hidup di tengah-tengah masyarakat sekarang ini.
(3) Bagaimana mengajarkan sebuah puisi, pengabaian teori puisi sangat mutlak. Sebaliknya siswa diajak untuk peka (sensitif) terhadap fenomena-fenomena sosial di sekitarnya. Mereka dapat menuliskan segala sesuatu tentang kehidupan nyata yang tertuang di dalam tulisan-tulisan puisinya, misalnya tentang: nasionalisme, cinta tanah air, karakter bangsa, sejarah, kepahlawanan, dll. Dilanjutkan dengan penilaian deklamasi puisi hasil ciptaannya, akan tampak penghayatan/apresiatif siswa melalui ekspresi wajah saat dia berdeklamasi.
3. Konsep Pengembangan
Mencari informasi sebagai metode pembelajaran diawali oleh isu/ masalah yang memerlukan suatu pemecahan .Secara berkelompok siswa mencari informasi, kemudian mereka menyimpulkan informasi yang tersedia untuk menjawab permasalahan yang dihadapi. Strategi instruksional yang digunakan dalam model ini adalah diskusi kelompok kecil, curah pendapat, dan pemecahan masalah. Model pembelajaran berbasis mencari informasi ini dapat dipakai para guru untuk menghidupkan materi pelajaranan yang dianggap kurang menarik oleh siswa/siswa, baik secara perorangan maupun kelompok. Model pembelajaran berbasis mencari informasi dirancang untuk membantu pelaksanaan pembagian tanggung jawab ketika siswa /siswa mengikuti pembelajaran dan berorientasi menuju pembentukan manusia sosial (Mafune, 2005). Model pembelajaran berbasis mencari informasi dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab para siswa akan lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (Controling) dan penciptaan, kerja dalam kelompok dan berbagai pengetahuan, serta tanggung jawab individu tetap merupakan kunci keberhasilan pembelajaran (Surtikanti dan Sutama, 2007).
Demikian, sekelumit tentang paradigma pengajaran bahasa Indonesia (dan sastranya). Mudah-mudahan dengan tulisan ini membawa situasi pembelajaran yang kondusif. Sehingga memberikan peluang bagi siswa untuk berkreasi bisa menghantarkan siswa pada pengajaran yang bermakna.
Penulis adalah: Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1
Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar