Minggu, 18 Desember 2011

PEMBERDAYAAN MULTIFUNGSI KOMPONEN SEKOLAH SEBAGAI RESPONSIF TERHADAP PROGRAM SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL DAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL

Drs. A. Butin
Penulis adalah: Guru SMA Negeri 1
Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel
E-Mail : amatbutin@googlemail.com

PEMBERDAYAAN MULTIFUNGSI KOMPONEN SEKOLAH SEBAGAI RESPONSIF TERHADAP PROGRAM SEKOLAH BERSTANDAR NASIONAL DAN SEKOLAH BERSTANDAR INTERNASIONAL





Untuk menyandang predikat Sekolah yang Bersandar Nasional (SBN) dan Sekolah yang Berstandar Internasioanal (SBI) itu banyak sekolah yang menemui kendala. Dalam upaya mencapai dan mewujudkan kedua program yang akhir-akhir sangat santer dalam dunia pendidikan kita, sangat banyak kekurangan yang ditemui (di lapangan) pada sekolah-sekolah terutama pada sekolah-sekolah yang berada di daerah, yang belum memiliki akses yang menunjang misalnya dalam bidang transportasi dan komunikasi. Kesulitan yang dapat diungkapkan di pada tulisan ini, paling tidak terdapat enam kesulitan yang sekaligus merupakan kendala, sebagai berikut.


1) Masalah pengelolaan proses belajar dan mengajar
Dalam hal ini menyangkut permasalahan kinerja guru yang belum sepenuhnya menunjukkan komitmen untuk menyajikan pelajaran dengan metode/skenario pembelajaran yang jitu (pembelajaran PAIKEM);
2) Masalah persiapan guru sebelum berdiri di depan kelas, misalnya Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang matang, bahan ajar yang konkrit, silabus yang belum dikembangkan oleh para guru sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak didik dan jenjang pendidikan (squensing), serta belum banyak tampak kontekstual bahan, dan gradasi bahan ajar yang diajarkan dengan kebutuhan anak didik di dalam kehidupannya sehari-hari nantinya, setamat dari suatu jenjang pendidikan yang dilaminya sekarang;
3) Pada penyajian bahan di depan kelas, bahan yang disajikan masih seratus persen materi dari buku; entah bahan dari buku paket -- maupun dari buku-buku penunjang sebagai buku pegangan guru dan buku siswa -- yang materi/bahan yang diajarkan sudah usang. Guru tanpa menyeleksi bahan dari buku dan tidak merujuk pada Standar Isi dan Standar Kelulusan yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, sehingga bahan yang diajarkan di dalam buku itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sekarang ini, ironisnya siswa masih menerima dan dijejali dengan materi pelajaran yang demikian.Tambahan pula dengan metode penyampaian guru yang masih konvensional, yaitu ceramah dan siswa hanya mendengar dan hanya mencatat;
4) Belum seluruh guru melakukan evaluasi terhadap bahan yang diajarkannya dengan aturan yang ditetapkan, antara lain evaluasi/penilaian yang validitas dan reabilitas pada setiap penyelenggaraan ulangan; baik ulangan pada setiap Standar Kompetensi (SK), atau ulangan pada beberapa Kompetensi Dasar (KD). Sehingga masih terdapat pada sebagian guru yang sulit mendeteksi keberhasilan dari siswa terhadap bahan ajar/materi yang telah diajarkannya. Akibatnya program remedial dan pengayaan terhadap para siswa belum berjalan maksimal, seperti yang diamanatkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, melalui Buku Petunjuk Penilaian, yang telah diterbitkan pada masa awal pemberlakuan KurikulumTingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
5) Meski administrasi guru seperti perangkat pembelajaran yang supramodern sekalipun- masih terpulang kepada mental sang guru- yang perlu ditumbuhkan untuk berkomitmen atas kesadaran sendiri atau dimunculkan oleh pihak atasan seperti kepala sekolah, atau para para pengawas akademik dan pengawas manajerialnya. Jika tidak, kita belum dapat banyak berharap lebih untuk terpenuhinya amanat standar isi (SI) dan standar kelululusan (SKL) seperti yang disebutkan di atas.

Selain dari aspek 1-5 di atas, agaknya sudah menjadi realitas di lapangan, bahwa sarana yang ada di sekolah-sekolah kita, baik sarana pendidikan persekolahan yang ada di kota setingkat kota administratif dan atau sarana pada sekolah setingkat metropolitan sudah sepenuhnya menopang dan diberdayakan untuk mengejar target amanat Kurikulum Standar Isi dan Standar Kelulusan (SKL). Akan tetapi bagaimana dengan eksistensi sarana pembelajaran yang berada pada sekolah-sekolah di daerah yang masih sulit dijangkau, belum sepenuhnya terpenuhi, (pernyataan ini bukan hasil penelitian, tetapi realitas). Bukankah sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah lebih banyak jumlahnya daripada sekolah yang sudah dapat menikmati segala fasilitas seperti listrik, sarana jalan, dan komunikasi media internet? Suatu realita masih banyak sekolah-sekolah kita di daerah yang belum siap dan perlu pembenahan terlebih dahulu untuk memasuki jenjang sekolah yang bertaraf internasional.
Jika program itu harus diimplementasikan dan harus bergulir secepatnya dalam waktu dekat ini, alangkah baiknya jika diberdayakan dahulu aspek-aspek yang sangat esensial terutama untuk sekolah-sekolah yang sulit dijangkau oleh akses tranportasi dan komunikasi. Seperti pemberdayaan kualitas guru, sarana pendidikan, dan sarana penunjang lainnya. Kita tidak menutup kemungkinan, memanglah telah banyak sekolah yang telah beroperasional secara maksimal karena memang sekolah itu telah ditunjang dengan sarana yang lengkap seperti: multimedia, perpustakaan, laboratorium IPA (untuk jenjang SMP) ; -Fisika-Kimia-dan Biologi, laboratorium bahasa (khusus jenjang SMA), sarana internet, dll. Tetapi ketentuan untuk penstandaran sekolah Nasional/Internasional perlu pemikiran yang matang dan kajian yang cermat dan mendalam tanpa pengabaian kondisi yang ada pada sekolah-sekolah yang berada di daerah -- yang belum memiliki penunjang KBM seperti di atas, sebelum program Sekolah Berbasis Internasional diberlakukan untuk seluruh sekolah di seluruh tanah air.
Menurut opini penulis silakan saja sekolah-sekolah yang sudah mapan untuk diberi/mendapatkan predikat Sekolah Berstandar Internasional. Atau dengan kata lain silakan saja diluncurkan (lounching) SBI untuk diimplementasikan guna mentransfer Iptek dan Imtaq kepada anak didiknya, jika sekolah yang memperoleh predikat SBI itu tidak diragukan lagi dan memang betul-betul memiliki kelebihan dalam segala segi, ketimbang sekolah-sekolah yang berada di daerah yang jauh dari kriteria SBI yang ditetapkan. Dan jangan sampai sekolah-sekolah yang nantinya diberi predikat SBI (di kota-kota) akan merupakan program mercusuar dan menara gading menurut persepsi apresiatif orang tua siswa dan masyarakat.
Sikap seperti dia atas bukanlah apriori dan pesimistis penulis. Bagi institusi yang sarananya belum memadai. Akan tetapi, agaknya kita masih perlu banyak berbenah untuk sekolah-sekolah di daerah yang belum mapan. Pembenahan yang paling esensial dan crusial terkait pada perbaikan delapan standar pendidikan yang mesti harus dimiliki oleh sekolah-sekolah yang berada di daerah, agar prioritas utama adalah penyelenggarakan pembelajaran yang sesuai dengan amanat Standar Isi (SI) dan Standar Kelulusan (SKL), serta menyelenggarakan pembelajaran yang PAIKEM dapat dicapai.
Jika pada kenyataannya kedelapan standar pendidikan yang dimaksud tidak sepenuhnya terdapat pada sekolah-sekolah (SMP/SMA) di daerah, meskipun dengan sarana yang apa adanya, semangat serta komitmen yang tinggi janganlah pernah pupus untuk diemban oleh para guru dan stakeholder yang terkait di daerah. Sebab program Sekolah Standar Nasional ( SSN) belum usai telah dimunculkan pula program Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Karena masih banyak sekolah yang berada nun jauh di sana di tepi pantai, di kaki gunung, di lembah-lembah muara sungai yang tentu belum siap jika program terakhir ini ditawarkan kepada mereka. Memanglah demikian adanya, namun keinginan para siswa kita, guru-guru, dan masyarakat untuk maju di daerah untuk berpredikat (SBI), masih merupakan mimpi yang belum usai.
Demikian, jika program SBI harus dilaksanakan secara merata dan menyeluruh di seluruh tanah air, pihak yang berkompeten harus pula bekerja ekstra guna mencapai tujuan itu.

------------

1 komentar: